Di Indonesia sekarang ini setidaknya (paling tidak) ada 3 (tiga) institusi (lembaga) yang dikategonkan sebagai Pejabat Umum, yaitu:
1. Notaris berdasarkan Pasal 15 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), antara lain disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
3. Pejabat Lelang berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 338/KMK. 01 /2000 tentang Pejabat Lelang.[1]
Masing-masing Pejabat Umum tersebut mempunyai wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebagai berikut:
1. Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, yaitu :[2]
a. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang di kehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Notaris berwenang pula :
(1). Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal Surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku-buku khusus.
(2). Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
(3) Membuat foto kopi dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uralan sebagai mana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
(4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
(5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
(6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
(7) Membuat akta risalah lelang.
c. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Wewenang PPAT sebagai Pejabat Umum, antara lain berdasarkan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agrania/ Kepala Badan Pertana-han Nasional No.3 Tahun. i 997 juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998, yaitu berwenang membuat akta-akta:
a. juai-beli
b. tukar-menukar
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan(inbreng);
e. pembagian hak bersama,-
f pemberian Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Hak Milik,-
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Surat Kuasa Membebankan Hal Tanggungan.
Wewenang Notaris yang tercantur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf (1 UUJN telah menimbulkan permasalahan tersendiri, terutama pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN. Permasalahan tersebut timbul bukan hanya dikalangan Notaris yang juga sudah menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi juga bagi para Notaris yang belum diangkat sebagai PPAT atau juga para Notaris yang pindah tempat kedudukan, tapi tempat kedudukan sebagai PPAT belum pindah atau Surat Keputusan pengangkatan atau kepindahannya belum diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan isi Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN, apakah bagi Notaris yang sudah menjabat sebagai PPAT akan serta merta menghilangkan jabatan PPAT-nya dan tetap berwenang membuat akta-akta yang selama ini menjadi wewenang PPAT, dan bagi yang belum diangkat (atau pindah tempat kedudukan) sebagai PPAT apakah akan serta merta berwenang, membuat akta-akta yang selama ini menjadi wewenang PPAT?, dengan kata lain seluruh wewenang PPAT untuk membuat 8 (delapan) jenis akta serta merta menjadi wewenang Notaris?
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah Kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris dan PPAT terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan.
Wewenang yang diperoleh suatu Jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau mandat. Wewenang secara Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Dan Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan.
Berdasarkan UUJN tersebut temyata Notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM. Hal yang sama terjadi juga dengan wewenang yang diperoleh PPAT berdasarkan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 Tahun 1997 juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Wewenang PPAT bukan diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan, meskipun dalam Pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 disebutkan bahwa dalam melaksanakan Pendaftaran Tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas-togas tertentu. Dengan kata lain wewenang PPAT tidak diperoleh dari Kepala Kantor Pertanahan, tapi wewenang PPAT diperoleh berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Demikian pula wewenang Notaris untuk membuat Risalah Lelang, aturan hukurn yang menciptakan wewenang untuk Notaris membuat Risalah Lelang, dan bukan berasal dari Departemen Keuangan.
Dengan dernikian wewenang tersebut asalnya bukan dari lembaga lain, sehingga jika ada aturan hukurn Yang baru dan mengatur wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga atau jabatan tertentu, maka semua wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga atau jabatan tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, wewenang Notaris dalam bidang pertanahan dan membuat risalah lelang, bukan mengambil wewenang yang asalnya dari lembaga atau pejabat lama tapi aruran hukum yang baru (UUJN) telah menentakan sandiri bahwa wewenang pertanahan dan melakukan lelang menjadi wewenang Notaris
[1] Dalam bab ini Pejabat lelang tidak akan dibahas lebih jauh.
[2] Lebih jauh baca Pasal 15 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
1. Notaris berdasarkan Pasal 15 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), antara lain disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
3. Pejabat Lelang berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 338/KMK. 01 /2000 tentang Pejabat Lelang.[1]
Masing-masing Pejabat Umum tersebut mempunyai wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebagai berikut:
1. Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, yaitu :[2]
a. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang di kehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Notaris berwenang pula :
(1). Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal Surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku-buku khusus.
(2). Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
(3) Membuat foto kopi dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uralan sebagai mana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
(4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
(5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
(6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
(7) Membuat akta risalah lelang.
c. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Wewenang PPAT sebagai Pejabat Umum, antara lain berdasarkan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agrania/ Kepala Badan Pertana-han Nasional No.3 Tahun. i 997 juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998, yaitu berwenang membuat akta-akta:
a. juai-beli
b. tukar-menukar
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan(inbreng);
e. pembagian hak bersama,-
f pemberian Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Hak Milik,-
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Surat Kuasa Membebankan Hal Tanggungan.
Wewenang Notaris yang tercantur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf (1 UUJN telah menimbulkan permasalahan tersendiri, terutama pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN. Permasalahan tersebut timbul bukan hanya dikalangan Notaris yang juga sudah menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi juga bagi para Notaris yang belum diangkat sebagai PPAT atau juga para Notaris yang pindah tempat kedudukan, tapi tempat kedudukan sebagai PPAT belum pindah atau Surat Keputusan pengangkatan atau kepindahannya belum diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan isi Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN, apakah bagi Notaris yang sudah menjabat sebagai PPAT akan serta merta menghilangkan jabatan PPAT-nya dan tetap berwenang membuat akta-akta yang selama ini menjadi wewenang PPAT, dan bagi yang belum diangkat (atau pindah tempat kedudukan) sebagai PPAT apakah akan serta merta berwenang, membuat akta-akta yang selama ini menjadi wewenang PPAT?, dengan kata lain seluruh wewenang PPAT untuk membuat 8 (delapan) jenis akta serta merta menjadi wewenang Notaris?
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah Kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris dan PPAT terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan.
Wewenang yang diperoleh suatu Jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau mandat. Wewenang secara Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Dan Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan.
Berdasarkan UUJN tersebut temyata Notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM. Hal yang sama terjadi juga dengan wewenang yang diperoleh PPAT berdasarkan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 Tahun 1997 juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Wewenang PPAT bukan diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan, meskipun dalam Pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 disebutkan bahwa dalam melaksanakan Pendaftaran Tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas-togas tertentu. Dengan kata lain wewenang PPAT tidak diperoleh dari Kepala Kantor Pertanahan, tapi wewenang PPAT diperoleh berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Demikian pula wewenang Notaris untuk membuat Risalah Lelang, aturan hukurn yang menciptakan wewenang untuk Notaris membuat Risalah Lelang, dan bukan berasal dari Departemen Keuangan.
Dengan dernikian wewenang tersebut asalnya bukan dari lembaga lain, sehingga jika ada aturan hukurn Yang baru dan mengatur wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga atau jabatan tertentu, maka semua wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga atau jabatan tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, wewenang Notaris dalam bidang pertanahan dan membuat risalah lelang, bukan mengambil wewenang yang asalnya dari lembaga atau pejabat lama tapi aruran hukum yang baru (UUJN) telah menentakan sandiri bahwa wewenang pertanahan dan melakukan lelang menjadi wewenang Notaris
[1] Dalam bab ini Pejabat lelang tidak akan dibahas lebih jauh.
[2] Lebih jauh baca Pasal 15 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).