Senin, 27 April 2009

Pengaturan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:
(1) PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri,[1]
(2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara,
(3) Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, LNRI Tahun 1998 No. 52 – TLNRI No. 3746, diundangkan tanggal 5 Maret 1998. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dilaksanakan oleh Permen Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan perundang-undangan lain yang di dalamnya mengatur tugas dan wewenang PPAT, antara lain, yaitu:
(1).Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibuktikan dengan akta PPAT.
(2). Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah.
Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara harus dibuktikan dengan akta PPAT.
(3). Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibuktikan dengan akta PPAT.
(4). Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT. Pengertian PPAT dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
(1). Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1996. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2). Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta tanah.
(3). Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta tanah tertentu.
(4). Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum. Istilah pejabat umum bagi PPAT baru ada pada Undang-undang No. 4 Tahun 1996, namun dalam Undang-undang ini maupun peraturan perundang-undangan yang lain tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan pejabat umum.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud pejabat umum adalah seorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu.[2] Sejalan dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian pejabat umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan PPAT[3]. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas terdapat persamaan, yaitu
PPAT sebagai pejabat umum dan kewenangannya membuat akta yang berkaitan dengan tanah, sedangkan perbedaannya adalah:
1. Pada Undang-undang No. 4 Tahun 1996, akta yang dibuat oleh PPAT dirinci secara tegas, yaitu akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
2. Pada Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, akta yang dibuat oleh PPAT tidak dirinci secara tegas, hanya dirumuskan akta-akta tanah tertentu.
3. Pada Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik, akta dibuat untuk perbuatan hukum tertentu, dan obyek perbuatan hukumnya mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta tanah. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan akta tanah adalah akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum di bidang hukum tanah.[4] Dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, PPAT dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Yang menjadi PPAT disini adalah seseorang yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
2. PPAT Sementara. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara ini adalah Kepala Kecamatan.
Ketentuan tentang penunjukkan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT sementara.
b. Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat dengan melampirkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.
d. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT sementara oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di wilayah desa tersebut. Pada saat ini belum ada Kepala Desa yang ditunjuk sebagai PPAT sementara.

3. PPAT Khusus. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan PPAT sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan tentang penunjukan PPAT khusus dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Penunjukkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT khusus dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional secara kasus demi kasus;
b. Penunjukkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT khusus dapat dilakukan di dalam keputusan mengenai penetapan program khusus pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, yang memerlukan ditunjukknya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT khusus. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, untuk dapat diangkat menjadi PPAT harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1). Berkewarganegaraan Indonesia.
2). Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.
3). Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat.
4). Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5). Sehat jasmani dan rokhani.
6). Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.
7). Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.

PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum. PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai:
a. Pengacara atau advokat;
b. Pegawai negeri, atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga dan mencegah agar PPAT dalam menjalankan jabatannya tersebut tidak menimbulkan akibat yang memberikan kesan bahwa PPAT telah mengganggu keseimbangan kepentingan para pihak. Ketentuan ini juga dibuat agar PPAT dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya demi melayani kepentingan umum agar melaksanakan rasa kemandirian dan tidak memihak.
Besarnya (uang jasa) honorarium PPAT ditetapkan dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, yaitu:
1. Uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga yang tercantum di dalam akta.
2. PPATdan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.
3. Di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dan PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan melebihi 1% (satu persen) dari harga yang tercantum di dalam akta.
4. PPAT Khusus melaksanakan tugasnya tanpa memungut biaya.

PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT, karena:
1. Meninggal dunia; atau
2. Telah mencapai usia 65 tahun; atau
3. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT ; atau
4. Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatannya, atau diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
[1] Menteri yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (1) adalah Menteri Negara Agraria. Oleh karena pada saat ini tidak ada lembaga Menteri Negara Agraria, tetapi yang ada adalah Badan Pertanahan nasional (BPN). Dengan demikian, kata Menteri pada Pasal 7 ayat (1) harus dibaca Kepala Badan Pertanahan Nasional.

[2] Boedi Harsono, PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI, No. 8.44. IV, Jakarta, 3 Januari 2007, h. 11.

[3] Sri Winarsi, Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum, Majalah YURIDIKA, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 17 No. 2, Surabaya, Maret 2002, h. 186.
[4] Boedi Harsono, PPAT, Akta PPAT, dan Permasalahannya, Makalah, Temu Ilmiah Mahasiswa Notariat seIndonesia, Candra Wilwatikta, Pandaan, Jawa Timur, 25– 6 Agustus 1989, h. 2.