Senin, 27 April 2009

Macam Akta Dan Tanggung Jawab Notaris

Akta yang dibuat dihadapan Notaris dapat digolongkan dalam dua macam akta yaitu akta partai dan akta pejabat. Akta Partai adalah suatu akta dimana Notaris hanya memasukan keterangan atau kehendak para penghadap didalam akta vang dibuatnya. Sehingga Notaris dibebaskan dari tanggung jawab jika ternyata di kemudian hari apa yang diterangkan para penghadap tersebut tidak benar. Notaris menjamin bahwa penghadap benar menyatakan sebagai mana yang tertulis dalam akta namun Notaris tidak menjamin bahwa apa vang dinyatakan olch penghadap tersebut adalah benar atau suatu kebenaran. Inilah yang sering menjadi kendala utama bila Notaris diminta oleh penyidik sebagai saksi, dikarenakan pihak penyidik belum memahami masalah ini.
Sedangkan akta relaas atau akta pejabat adalah suatu akta vang dibuat oleh notaris vang biasanva berisi tentang berita acara mengenai suatu kejadian yang disaksikan oleh Notaris sendiri. Berita acara mengenai suatu kejadian yang dilihat dan didengar oleh Notaris sendiri. Disini Notaris bertanggung jawab penuh atas kebenaran dari isi akta yang dibuatnya tersebut. Misalnva Berita Acara Rapat Umum Pernegang Saham suatu perseroan.
Hal ini sering menimbulkan hal-hal yang semestinya tidak terjadi jika penyidik mengetahui. Misalnya seorang Notaris diperintahkan untuk ditahan oleh Kejaksaan kepada Kepolisian karena didalam akta jual beli sebidang tanah dinyatakan bahwa harga jual beli sudah dibavar lunas tenvata belum. Padahal tanah tersebut sudah dibalik nama dan tclah dijual kepada pihak lain. Pernah juga Notaris nvaris ditahan karena mclakukan jual beli sebidang tanah warisan vang dimana dalam surat keterangan waris yang dikeluarkan oleh kantor Kelurahan dan Kecamatan ahli warisnya hanva empat orang. Ternyata ada ahli waris yang tidak dimasukkan karena scbcnanya ahli warisnya ada, 5 orang. Sehingga ahli waris yang tidak masuk menjadi ahli waris melapor kepada pihak Kepolisian.Namun bagaimana jika ada seorang Notaris meninggalkan RUPS suatu perseroan karena jam menvusu anak-anaknya telah tiba schingga RUPS tersebut diteruskan oleh asisten Notaris tersebut dan Notaris yang bersangkutan melenggang pulang untuk menyusui anaknva. Bagaimana pula tangggung jawab Notaris vang membuat suatu akta jual beli tanah (sebetulnya lebih tepat PPAT) namun pada waktu ditanya penyidik tidak tahu siapa pembeli dan siapa penjualnya karena akta jual beli tersebut adalah kiriman dari rekan Notaris lain dimana Notaris dimaksud hanya tinggal tanda tangan saja.

Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menetapkan bahwa “Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Dalam Pasal 6 ayat (2) ini hanya disebutkan kegiatan-kegiatan tertentu, tidak disebutkan secara tegas kegiatan-kegiatan apa dalam pendaftaran tanah yang menjadi tugas PPAT untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan ditetapkan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, yaitu:
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh para pihak mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang menimbulkan akibat hukum bagi para pihak tersebut. Akibat hukum dari perbuatan hukum tersebut dapat berupa pemindahan hak, pembebanan hak, dan pembagian hak. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah.
Untuk menjawab kegiatan apa dalam pendaftaran tanah yang menjadi tugas PPAT dapat dilihat dari macam-macam kegiatan pendaftaran tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh Pemerintah menurut Pasal 19 ayat (2) UUPA, meliputi:
a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kegiatan pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:
1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau InitialRegistration)
Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah untuk pertama kali menurut Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik dilakukan secara massal, ada yang dilaksanakan atas inisiatif dari Pemerintah dan ada yang swadaya masyarakat (inisiatif dari pemegang hak atas tanah). Pendaftaran tanah secara sistematik dilakukan melalui Ajudikasi, yang dalam pelaksanaannya dibentuk Panitia Ajudikasi oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk pendaftaran tanah secara sistematik atas inisiatif dari Pemerintah, atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk pendaftaran tanah secara sistematik atas swadaya masyarakat (inisiatif dari pemegang hak atas tanah). Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, ada yang bersifat perseorangan (individual), dan ada yang bersifat massal. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik.Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan. Kegiatannya, meliputi:
1). pembuatan peta dasar pendaftaran;
2). penetapan batas bidang-bidang tanah;
3). pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran;
4). pembuatan daftar tanah;
5). pembuatan surat ukur.
b. Pembuktian dan pembukuannya. Kegiatannya, meliputi:
1). pembuktian hak baru;
2). pembuktian hak lama;
3). pembukuan hak.
c. Penerbitan sertipikat.
d. Penyajian data fisik dan data yuridis.
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance).
Yang dimaksud kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas:
a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak. Kegiatannya meliputi:
1). Pemindahan hak;
2). Pemindahan hak melalui lelang;
3). Peralihan hak karena pewarisan;
4). Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi;
5). Pembebanan hak;
6). Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Kegiatannya, meliputi:
1). Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;
2). Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;
3). Pembagian hak bersama;
4). Hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5). Peralihan dan hapusnya Hak Tanggungan;
6). Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;
7). Perubahan nama.

Perubahan data yuridis dapat berupa:
a. Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;
b. Peralihan hak karena pewarisan;
c. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perusahaan atau koperasi;
d. Pembebanan Hak Tanggungan;
e. Peralihan Hak Tanggungan;
f. Hapusnya hak atas tanah, Hak Pengelolaan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Tanggungan;
g. Pembagian hak bersama;
h. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan Ketua Pengadilan;
i. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;
j. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.

Perubahan data fisik dapat berupa:
a. pemecahan bidang tanah;
b. pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;
c. penggabungan dua atau lebih bidang tanah.

Dari dua macam kegiatan pendaftaran tanah, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, maka kegiatan yang menjadi tugas utama Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Dalam kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah terdapat perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, berupa pemindahan hak, pembagian hak bersama, pembebanan Hak Tanggungan, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibutuhkan bantuan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membuat akta.
A.P. Parlindungan menyatakan bahwa tugas PPAT adalah melaksanakan suatu recording of deeds of conveyance, yaitu suatu perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak Tanggungan, mendirikan hak baru di atas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau Hak Pakai di atas Hak Milik) ditambah membuat surat kuasa memasang Hak Tanggungan.[1]
Pada dasarnya tugas PPAT dalam pendaftaran tanah adalah membantu Badan Pertanahan Nasional dalam mencapai salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu:
a. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
b. PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
c. PPAT wajib menjelaskan kepada calon penerima hak dalam pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun mengenai Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa:
1). yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2). yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3). yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 1 dan 2 tersebut tidak benar, maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi objek landreform; 4. yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 1 dan 2 tidak benar.
d. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
e. PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran pemindahan dan pembebanan Hak Tanggungan atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan. PPAT dalam melaksanakan tugasnya harus mandiri dan tidak memihak kepada salah satu pihak. Irawan Soerodjo menyatakan bahwa jabatan PPAT merupakan suatu profesi yang mandiri, yaitu:[2]
a. Mempunyai fungsi sebagai pejabat umum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan mendapat kewenangan dari Pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk membuat akta pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang merupakan alat bukti yang otentik.
b. Mempunyai tugas sebagai recording of deed conveyance (perekaman dari perbuatan-perbuatan) sehingga wajib mengkonstatir kehendak para pihak yang telah mencapai suatu kesepakatan di antara mereka.
c. Mengesahkan suatu perbuatan hukum di antara para pihak yang bersubstansi mengesahkan tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perbuatan hukum dan menjamin kepastian tanggal penandatanganan akta.
[1] A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, h. 83.

[2] Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, Februari 2003, h. 149–150.

Pengaturan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Ketentuan tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:
(1) PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri,[1]
(2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara,
(3) Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, LNRI Tahun 1998 No. 52 – TLNRI No. 3746, diundangkan tanggal 5 Maret 1998. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dilaksanakan oleh Permen Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan perundang-undangan lain yang di dalamnya mengatur tugas dan wewenang PPAT, antara lain, yaitu:
(1).Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibuktikan dengan akta PPAT.
(2). Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah.
Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara harus dibuktikan dengan akta PPAT.
(3). Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibuktikan dengan akta PPAT.
(4). Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT. Pengertian PPAT dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
(1). Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1996. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2). Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta tanah.
(3). Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta tanah tertentu.
(4). Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum. Istilah pejabat umum bagi PPAT baru ada pada Undang-undang No. 4 Tahun 1996, namun dalam Undang-undang ini maupun peraturan perundang-undangan yang lain tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan pejabat umum.
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud pejabat umum adalah seorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu.[2] Sejalan dengan Boedi Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian pejabat umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka hukum publik. Sifat publiknya tersebut dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan PPAT[3]. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dari keempat peraturan perundang-undangan di atas terdapat persamaan, yaitu
PPAT sebagai pejabat umum dan kewenangannya membuat akta yang berkaitan dengan tanah, sedangkan perbedaannya adalah:
1. Pada Undang-undang No. 4 Tahun 1996, akta yang dibuat oleh PPAT dirinci secara tegas, yaitu akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
2. Pada Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, akta yang dibuat oleh PPAT tidak dirinci secara tegas, hanya dirumuskan akta-akta tanah tertentu.
3. Pada Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik, akta dibuat untuk perbuatan hukum tertentu, dan obyek perbuatan hukumnya mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta tanah. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan akta tanah adalah akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum di bidang hukum tanah.[4] Dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, PPAT dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Yang menjadi PPAT disini adalah seseorang yang merangkap menjadi Notaris atau mantan pejabat dari Badan Pertanahan Nasional setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
2. PPAT Sementara. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT sementara ini adalah Kepala Kecamatan.
Ketentuan tentang penunjukkan PPAT sementara dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Camat yang wilayah kerjanya berada di dalam daerah Kabupaten/Kota yang formasi PPAT-nya belum terpenuhi dapat ditunjuk sebagai PPAT sementara.
b. Surat Keputusan Penunjukan Camat sebagai PPAT sementara ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional.
c. Untuk keperluan penunjukan sebagai PPAT Sementara, Camat yang bersangkutan melaporkan pengangkatannya sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat dengan melampirkan salinan atau foto copy keputusan pengangkatan tersebut.
d. Penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT sementara oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah diadakan penelitian mengenai keperluannya berdasarkan letak desa yang sangat terpencil dan banyaknya bidang tanah yang sudah terdaftar di wilayah desa tersebut. Pada saat ini belum ada Kepala Desa yang ditunjuk sebagai PPAT sementara.

3. PPAT Khusus. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan PPAT sementara diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan dari Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan tentang penunjukan PPAT khusus dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Penunjukkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT khusus dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional secara kasus demi kasus;
b. Penunjukkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT khusus dapat dilakukan di dalam keputusan mengenai penetapan program khusus pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, yang memerlukan ditunjukknya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai PPAT khusus. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, untuk dapat diangkat menjadi PPAT harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1). Berkewarganegaraan Indonesia.
2). Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.
3). Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat.
4). Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5). Sehat jasmani dan rokhani.
6). Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.
7). Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.

PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum. PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai:
a. Pengacara atau advokat;
b. Pegawai negeri, atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga dan mencegah agar PPAT dalam menjalankan jabatannya tersebut tidak menimbulkan akibat yang memberikan kesan bahwa PPAT telah mengganggu keseimbangan kepentingan para pihak. Ketentuan ini juga dibuat agar PPAT dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya demi melayani kepentingan umum agar melaksanakan rasa kemandirian dan tidak memihak.
Besarnya (uang jasa) honorarium PPAT ditetapkan dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, yaitu:
1. Uang jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga yang tercantum di dalam akta.
2. PPATdan PPAT Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada seseorang yang tidak mampu.
3. Di dalam melaksanakan tugasnya, PPAT dan PPAT Sementara dilarang melakukan pungutan melebihi 1% (satu persen) dari harga yang tercantum di dalam akta.
4. PPAT Khusus melaksanakan tugasnya tanpa memungut biaya.

PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT, karena:
1. Meninggal dunia; atau
2. Telah mencapai usia 65 tahun; atau
3. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT ; atau
4. Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatannya, atau diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
[1] Menteri yang dimaksudkan oleh Pasal 7 ayat (1) adalah Menteri Negara Agraria. Oleh karena pada saat ini tidak ada lembaga Menteri Negara Agraria, tetapi yang ada adalah Badan Pertanahan nasional (BPN). Dengan demikian, kata Menteri pada Pasal 7 ayat (1) harus dibaca Kepala Badan Pertanahan Nasional.

[2] Boedi Harsono, PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya, Majalah RENVOI, No. 8.44. IV, Jakarta, 3 Januari 2007, h. 11.

[3] Sri Winarsi, Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum, Majalah YURIDIKA, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 17 No. 2, Surabaya, Maret 2002, h. 186.
[4] Boedi Harsono, PPAT, Akta PPAT, dan Permasalahannya, Makalah, Temu Ilmiah Mahasiswa Notariat seIndonesia, Candra Wilwatikta, Pandaan, Jawa Timur, 25– 6 Agustus 1989, h. 2.

Notaris dan Akta Notaris

Secara umum yang dimaksud de­ngan Notaris adalah: "Pejabat Umum Yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharus­kan oleh suatu peraturan perundang­undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk di­nyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembu­atan akta, menyimpan akta, memberi­kan grosse salinan dan kutipannya, se­muanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecuali­kan kepada pejabat lain atau orang lain Yang ditetapkan oleh undang-undang[1] "
Kedudukan notaris sebagai Pejabat Umum adalah merupakan organ Nega­ra; yang mendapat limpahan bagian dari tugas dan kewenangan negara yaitu berupa tugas - kewajiban, we­wenang clan tanggung jawab dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum dibidang keper­dataan; khususnya dalam pembuatan dan peresmian akta.
Yang dimaksud dengan akta disini adalah surat yang sengaja dibuat se­bagai alat bukti, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum dibidang keperdataan yang dilakukan oleh pi­hak-pihak. Akta-akta yang dibuat menurut dan memenuhi ketentuan pasal 1868 KUH Perdata Jo Ketentuan Undang-Undang No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris dahulu Stbl. 1860 No. 3 adalah akta oten­tik.
Akta itu disebut Otentik bila me­menuhi 3 unsur yaitu:[2] Pertama, dibuat dalam bentuk menurut ke­tentuan undang-undang; kedua, dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum; ketiga, Pejabat Umum itu harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.
Pengertian Bentuk disini adalah "Vorm", yang memuat: awal akta, isi akta, dan akhir akta. Pengertian Pejabat Umum disini adalah notaris sebagai satu-satunya Pejabat Umum. Sedangkan pengertian Bewenang disini meliputi: berwenang terhadap orangnya; berwenang terhadap aktanya; berwenang terhadap waktunya; berwenang terhadap tempatnya. Adapun tata cara, tuntunan tentang proses dan progres pembuatan akta otentik sehingga memenuhi kwalifika­si sebagai alat bukti sempurna se­bagaimana dimaksud dalam ketentu­an Psl. 1870 jo psl. 1868 KUH Perdata telah diatur secara rinci dalam Undang-­undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Agar akta notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan se­bagai alat bukti sempurna tetang hal­hal keperdataan yang diatur dalam (se­bagai isi) akta itu tidak tergoyahkan, maka notaris Wajib (Harus) melaksa­nakan tugasnya dengan penuh disiplin, profesional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertu­ang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta itu. Akta atau su­rat yang benar, sengaja dibuat sebagai alat bukti dibidang keperdataan yang pembuatannya telah memenuhi unsur­unsur sebagaimana terurai di atas; maka akta tersebut dinamakan akta otentik; sedangkan yang tidak me­menuhi unsur-unsur tersebut di atas disebut akta yang tidak otentik atau surat dibawah tangan.
[1] Lihat Psl 1868 KUH Perdata Jo. Psl 1 dan Psl. 15 UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
[2] Lebih jauh lihat Reglement Of Het Notaris Ambt in Indonesia Stbl 1860 No.3 yang dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris (PJN) dan sejak tgl. 6 Oktober 2004 te­lah diberlakukan Undang-Undang Ja­batan Notaris yang baru yaitu Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004.

Wewenang Notaris Dan PPAT

Di Indonesia sekarang ini setidaknya (paling tidak) ada 3 (tiga) institusi (lembaga) yang dikategonkan sebagai Pejabat Umum, yaitu:
1. Notaris berdasarkan Pasal 15 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), antara lain disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
3. Pejabat Lelang berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 338/KMK. 01 /2000 tentang Pejabat Lelang.[1]
Masing-masing Pejabat Umum tersebut mempunyai wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebagai berikut:
1. Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, yaitu :[2]
a. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang di kehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Notaris berwenang pula :
(1). Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal Surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku-buku khusus.
(2). Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
(3) Membuat foto kopi dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uralan sebagai mana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
(4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
(5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
(6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
(7) Membuat akta risalah lelang.
c. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Wewenang PPAT sebagai Pejabat Umum, antara lain berdasarkan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agrania/ Kepala Badan Pertana-han Nasional No.3 Tahun. i 997 juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998, yaitu berwenang membuat akta-akta:
a. juai-beli
b. tukar-menukar
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan(inbreng);
e. pembagian hak bersama,-
f pemberian Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Hak Milik,-
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Surat Kuasa Membebankan Hal Tanggungan.

Wewenang Notaris yang tercantur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf (1 UUJN telah menimbulkan permasalahan tersendiri, terutama pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN. Permasalahan tersebut timbul bukan hanya dikalangan Notaris yang juga sudah menjabat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi juga bagi para Notaris yang belum diangkat sebagai PPAT atau juga para Notaris yang pindah tempat kedudukan, tapi tempat kedudukan sebagai PPAT belum pindah atau Surat Keputusan pengangkatan atau kepindahannya belum diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan isi Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UUJN, apakah bagi Notaris yang sudah menjabat sebagai PPAT akan serta merta menghilangkan jabatan PPAT-nya dan tetap berwenang membuat akta-akta yang selama ini menjadi wewenang PPAT, dan bagi yang belum diangkat (atau pindah tempat kedudukan) sebagai PPAT apakah akan serta merta berwenang, membuat akta­-akta yang selama ini menjadi wewenang PPAT?, dengan kata lain seluruh wewenang PPAT untuk membuat 8 (delapan) jenis akta serta merta menjadi wewenang Notaris?
Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah Kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-­undangan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang Notaris dan PPAT terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan.
Wewenang yang diperoleh suatu Jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam Hukum Administrasi wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau mandat. Wewenang secara Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Dan Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan.
Berdasarkan UUJN tersebut temyata Notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh wewenang secara Atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM. Hal yang sama terjadi juga dengan wewenang yang diperoleh PPAT berdasarkan Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 Tahun 1997 juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Wewenang PPAT bukan diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Pertanahan, meskipun dalam Pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 disebutkan bahwa dalam melaksanakan Pendaftaran Tanah Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas-togas tertentu. Dengan kata lain wewenang PPAT tidak diperoleh dari Kepala Kantor Pertanahan, tapi wewenang PPAT diperoleh berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Demikian pula wewenang Notaris untuk membuat Risalah Lelang, aturan hukurn yang menciptakan wewenang untuk Notaris membuat Risalah Lelang, dan bukan berasal dari Departemen Keuangan.
Dengan dernikian wewenang tersebut asalnya bukan dari lembaga lain, sehingga jika ada aturan hukurn Yang baru dan mengatur wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga atau jabatan tertentu, maka semua wewenang tersebut menjadi wewenang lembaga atau jabatan tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, wewenang Notaris dalam bidang pertanahan dan membuat risalah lelang, bukan mengambil wewenang yang asalnya dari lembaga atau pejabat lama tapi aruran hukum yang baru (UUJN) telah menentakan sandiri bahwa wewenang pertanahan dan melakukan lelang menjadi wewenang Notaris
[1] Dalam bab ini Pejabat lelang tidak akan dibahas lebih jauh.
[2] Lebih jauh baca Pasal 15 Undang-undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Jumat, 24 April 2009

Berakhirnya Suatu Kontrak

KUH Perdata menyebutnya sebagai hapusnya perikatan, yaitu pada Pasal 1381 yang menyebutkan bahwa perikatan-perikatan hapus:[1]
1. karena pembayaran;
2. karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan:
3. karena pembaharuan hutang;
4. karena perjumpaan hutang atau kompensasi;
5. karena percampuran hutang;
6. karena pembebasan hutang-,
7. karena musnahnya barang yang terhutang;
8. karena batal atau pembatalan-,
9. karena berlakunya suatu syarat batal; dan
10. karena lewatnya waktu.
Pembayaran dalam arti luas adalah pemenuhan prestasi, balk bagi pihak yang menyerahkan uang sebagai harga pembayaran maupun bagi pihak yang menyerahkan kedendaan sebagai barang sebagaimana yang diper­janjikan. Jadi, pembayaran di sini diartikan sebagai "menyerahkan uang" bagi pihak yang satu dan "menyerahkan barang" bagi pihak lainnya. Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat. Di luar kedua hat tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan di mana ia berdiam sewaktu perjanjian dibuat dan di dalam hat-hat lainnya di tempat tinggal­nya si berhutang.
Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan, adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si ber­piutang menolak pembayaran, walaupun telah dilakukan dengan per­antaraan notaris atau jurusita. Uang atau barang yang sedianya sebagai pembayaran tersebut disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadil­an Negeri dengan suatu Berita Acara, yang dengan demikian hapuslah hutang piutang tersebut.
Pembaharuan hutang menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk melaksanakannya, yaitu:[2]
1. apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya;
2. apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
3. apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si ber­hutang dibebaskan dari perikatannya.
Perjumpaan hutang adalah suatu perhitungan atau sating memperhitung­kan hutang-piutang antara pihak satu dengan pihak lainnya. Illustrasinya, si A dalam suatu hubungan hutang piutang menjadi kreditur terhadap si B. Namun pada hubungan hutang piutang lainnya si A menjadi debitur bagi si B, sehingga masing-masing mempunyai hutang maupun piutang. Hutang piutang inilah yang diperjumpakan. Mengenai hat ini Pasal 1426 KUH Perdata menyebutkan bahwa perjumpaan itu terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak sepengetahuan orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal batik untuk suatu jumlah yang sama.
Percampuran hutang terjadi demi hukum dengan mana piutang dihapus­kan, apabila kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang berhutang berkumpul pada 1 (satu) orang (Pasal 1436 KUH Perdata).
Pembebasan hutang adalah suatu pernyataan yang tegas dari si ber­piutang bahwa ia tidak lagi menghendaki prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan prestasi suatu perjanjian.
Musnahnya barang yang terhutang adalah suatu keadaan di mana barang yang menjadi objek perjanjian tidak dapat lagi diperdaaangkan, hilang atau sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada atau sudah tidak ada lagi. Hapusnya perikatan di sini oleh karena musnahnya barang tersebut disebabkan di luar kesalahan si berhutang atau disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya.
Pembatalan sebagai salah satu sebab hapusnya perikatan adalah apabila salah satu pihak dalam perjanjian tersebut mengajukan atau menuntut pembatalan atas perjanjian yang telah dibuatnya, pembatalan mana di­akibatkan karena kekurangan syarat subjektif dari perjanjian dimaksud.
Berlakunya suatu syarat batal sebagai suatu sebab hapusnya perikatan adalah apabila suatu syarat batal yang disebutkan dalam perjanjian yang telah dibuat, syarat batal mana menjadi kenyataan/terjadi. Syarat batal ini, dalam perjanjian la4im disebutkan seperti ini: "perjanjian ini akan berakhir apabila ..."
Lewatnya waktu atau daluwarsa adalah suatu upaya'untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan.oleh undang­undang (Pasal 1946 KUH Perdata).
Kemudian, Pasal 1967 KUH Perdata menyebutkan bahwa sega!a tuntutan hukum, balk yang bersifat perseorartgan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun, sedangkan siapa yang menunjuk­kan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tidak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk. Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu "perikatan bebas" (natuurlijke verbintenis), artinya kalau dibayar boleh, tetapi tidak dapat dituntut di depan hakum.[3] Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di depan pengadilan, dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedalu­warsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.


[1] Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003) Hal.18
[2] ibid
[3] Subekti, opcit. hal 78

Batasan Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya .
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan .
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.
Apakah asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas mutlak? apabila kita mempelajari KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.
Pasal 1320 ayat (1) m enentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku.
Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum .
Pasal 1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang. Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.
Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.
Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma Atmadja, [1] dalam makalahnya menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan .
Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui Yurisprudensi.
Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang .
Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut. Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.
Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.
[1] R.Z. Asikin Kesuma Atmadja, SH., Pembatasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan Tahun II, No. 27, Februari 1987.

Asas Kebebasan Berkontrak

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luas­nya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk meng­adakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.


Menurut Subekti
[1], cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekan­kan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat per­janjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".
Menurut Mariam Darus Badrulzaman
[2] "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contract­vrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut
[3]:
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang­undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini[4] mengemukakan, dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.

Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari pasal-pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pem­batasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.

Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak.
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ber­tentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.
Pasal 1332 memberikan arch mengenai kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.

Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak mem­buat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.

Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang mem­buat kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak sama[5]


[1] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet­boek), Cetakan Keenam Belas, Jakarta: Pradnya Para­mita, 1983. hal.5
[2] Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan Pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal.84
[3] Hasanuddin Rahman, op.cit.: 138 dan Sutan Remy Sjandeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Institut Bahkir Indonesia, 1993. hal.47
[4] Sutan Remy Sjandeini, ibid
[5] lihat: Sutan Remy Sjandeini, ibid: 4).

Kontrak Dan Perikatan

Kontrak adalah perjanjian itu sendiri. Dan selain pengertian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata, Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu sating berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[1]

Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara 2 (dua) orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara 2 (dua) orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau ke­sanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Jadi, perikatan yang dilakukan dengan suatu kontrak, tidak lagi hanya berupa suatu rangkain perkataan yang mengandung janji-janji atau ke­sanggupan yang diucapkan, tetapi sudah merupakan perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak.

Perikatan itu adalah suatu hubungan hukum antara 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk meme­nuhi tuntutan itu.

Atau dengan kata lain, hubungan hukum yang terjadi karena adanya kontrak (perjanjian tertulis) tersebut dikatakan perikatan, karena kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu adanya hak dan kewajiban yang timbul di dalamnya. Di mana apabila hak tersebut tidak terpenuhi dan kewajiban tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut tidak akan terjadi.

Seperti yang digambarkan oleh Hardijan Rusli[2] bahwa hubung­an hukum yang terjadi, balk karena perjanjian maupun karena hukum, dinamakan perikatan karena hubungan hukum tersebut mengikat, yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya perikatan itu dapat dipaksakan,secara hukum. Jadi, suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan (unenforceable) adalah bukan perikatan. Adakah suatu perjanjian yang tidak mengikat? Tentu saja ada, misalnya perjanjian­perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, seperti: A berkata kepada B, "Saya berjanji akan memberi rumah saya kepada kamu (B)." Memberi rumah adalah janji A dan hal ini dapat disebut sebagai perjanjian, tetapi perjanjian ini tidak mengikat atau tidak sah karena perjanjian ini tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu tidak ada sebab atau consideration. Sehubungan perjanjian ini tidak mengikat atau tidak sah, maka perjanjian ini tidak dapat dilaksanakan secara paksa bila A tidak mau memenuhi janjinya.

Jadi, dalam suatu perjanjian yang mengikat (perikatan) minimal harus ada salah satu pihak yang mempunyai kewajiban karena bila tidak ada pihak yang mempunyai kewajiban, maka dikatakan tidak ada perjanjian yang mengikat. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum, yaitu hak (right) dan kewajiban (obligation). Hubungan hukum yang berdasarkan perjanjian/kontrak adalah hubungan hukum yang ter­jadi karena persetujuan atau kesepakatan para pihaknya.


[1] Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, Cetakan Kedelapan Belas, Jakarta: Pradnya Paramita, 1989. hal.1
[2] Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan Kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. hal.26

Pengertian Dan Arti Penting Kontrak

Sekilas, bila kita mendengar kata kontrak, kita langsung berpikir bahwa yang dimaksudkan adalah suatu perjanjian tertulis. Artinya, kontrak sudah dianggap sebagai suatu pengertian yang lebih sempit dari perjanjian. Dan bila melihat berbagai tulisan, baik buku, makalah atau tulisan ilmiah lainnya, kesan ini tidaklah salah, sebab penekanan kontrak selalu dianggap sebagai medianya suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis.


Kontrak menguasai begitu banyak bagian kehidupan sosial kita. hingga kita tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah kita buat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dua orang yang saling mengucapkan sumpah perkawinan, sedang menjalin kontrak perkawinan; seorang yang sedang memilih makanan di pasar menjalin kontrak untuk membeli makanan tersebut dalam jumlah tertentu.[1] Sedang kontrak komersil dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk me­lakukan transaksi bisnis.[2]

Kontrak bisa bersifat lisan bisa juga tertulis. Pernyataan kontrak tertulis bisa berupa memo, sertifikat, atau kuitansi. Karena hubungan kontraktual dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih yang memiliki potensi kepentingan yang saling bertentangan, persyaratan kontrak biasanya dilengkapi dan dibatasi oleh hukum. Dukungan dan pembatasan oleh hukum tersebut berfungsi untuk melindungi pihak yang menjalin kontrak dan untuk men­definisikan hubungan khusus di antara mereka seandainya ketentuannya tidak jelas, mendua arti, atau bahkan tidak lengkap.[3]


Kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri (tentunya perjanjian yang mengikat). Bukankah dalam Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari:
1. perjanjian; dan
2. Undang-undang.

Kontrak dalam Hukum Indonesia, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) disebut overeenkomst yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Menurut Peter Mahmud Marzuki[4] perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada kontrak. Kontrak merujuk kepada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang diperoleh kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian dapat saja berarti social agreement yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.

Salah satu sebab mengapa perjanjian oleh banyak orang tidak selalu dapat dipersamakan dengan kontrak adalah karena dalam pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUH Perdata tidak memuat kata "perjanjian dibuat secara tertulis". pengertian perjanjian dalam pasal tersebut hanya menyebutkan sebagai suatu perbuatan di mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.


Menurut Munir Fuady[5] banyak definisi tentang kontrak telah di­berikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut yang dianggap sangat penting, dan bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi tersebut.

Salah satu definisi kontrak yang diberikan oleh salah satu kamus, bahwa kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agree­ment) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan. memo­difikasi, atau menghilangkan hubungan hokum.[6]
Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak se­bagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian di mana hukum mem­berikan ganti rugi terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas
[7]

Apabila kita mengacu kepada judul buku ini dan berbagai buku dan tulis­an ilmiah lainnya yang memberikan kata "perancangan" terhadap kontrak, maka kontrak dapat diartikan sebagai suatu media atau piranti perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan. Atau dengan kata lain, dalam buku ini kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut.


Dari uraian atau definisi tersebut di atas, lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa:
1. Kontrak tersebut merupakan media atau piranti yang dapat me­nunjukkan apakah suatu perjanjian dibuat sesuai dengan syarat­syarat sahnya suatu perjanjian.
2. Kontrak tersebut sengaja dibuat secara tertulis untuk dapat saling memantau di antara para pihak, apakah prestasi telah dijalankan atau bahkan telah terjadi suatu wanprestasi.
3. Kontrak tersebut sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti bagi mereka yang berkepentingan, sehingga apabila ada pihak yang di­rugikan telah memiliki alat bukti untuk mengajukan suatu tuntutan ganti rugi kepada pihak lainnya.

Dari sini pulalah dapat diketahui arti pentingnya pembuatan suatu kontrak bagi para pihak yang terlibat di dalamnya, bahkan bagi pihak atau pihak lainnya. Sebagaimana kita lihat perkembangan bisnis belakangan ini yang semakin pesat dengan alasan globalisasi. Transaksi-transaksi yang di­lakukan begitu gencar dilakukan, bahkan bukan saja menyibukkan para pelaku bisnis, melainkan juga sering menyulitkan para pembuat kontrak bisnis. Hal ini disebabkan semakin canggihnya kemajuan teknologi yang harus diakui jauh meninggalkan kemajuan bidang hukum termasuk segi­segi hukum kontrak yang berlaku.


Selain hal tersebut di atas, arti penting suatu kontrak paling tidak adalah dalam hal-hal:
1. Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta di mana kontrak tersebut dilakukan.
2. Untuk mengetahui secara jelas siapa yang sating mengikatkan diri­nya tersebut dalam kontrak dimaksud.
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya kontrak tersebut.
5. Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih untuk menyelesaikan per­selisihan dan pilihan domisili hukum yang dipilih bila terjadi per­selisihan antara para pihak.
6. Untuk mengetahui kapan berakhirnya kontrak, atau hal-hal apa saja yang mengakibatkan berakhirnya kontrak tersebut.
7. Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan malah telah melakukan suatu wanprestasi.
8. Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan di kemudian hari, seperti apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam kontrak dimaksud. Termasuk apabila ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan suatu kontrak dan mengharus­kan kedua belah pihak untuk membuktikan hal-hal yang berkaitan dengan kontrak dimaksud.

Sejalan dengan itu, Peter Mahmud Marzuki[8] menyebutkan bahwa fungsi kontrak di dalam bisnis adalah untuk mengamankan tran­saksi. Tidak dapat disangkal bahwa hubungan bisnis dimulai dari kontrak. Tanga adanya kontrak, tidak mungkin hubungan bisnis dilakukan. Kontrak dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Bahkan, dalam Convention on International Sale of Goods tahun 1980 kontrak secara lisan juga di­akui. Akan tetapi, mengingat bahwa fungsi kontrak adalah untuk meng­amankan transaksi bisnis, jika kontrak secara lisan oleh para pihak dapat dipandang aman karena integritas masing-masing pihak memang dapat dijamin, mereka tidak perlu membuat kontrak tertulis. Hanya saja apabila ada pihak ketiga yang mungkin keberatan dengan kontrak itu dan menantang kedua belah pihak harus membuktikan adanya kontrak itu dengan bukti lainnya.


Selain itu, pada dasarnya kontrak juga mempunyai fungsi ekonomi. Dan mengenai hal ini Michael J. Trebilock (1993)[9] menyebutkan bahwa sedikitnya ada 4 (empat) fungsi kontrak bila dipandang dari sudut ekonomi. Pertama, kontrak yang memuat ganti rugi bila salah satu pihak melakukan wanprestasi atau melanggar kontrak, akan memberikan an essential check on opportunism in nonsimulataneous exchanges dengan menjamin pihak yang satu, dalam pelaksanaan kontrak, tidak berhadapan dengan risiko, daripada kerja sama dari pihak lainnya. Kedua, memakai para pihak given categories of exchange dengan seperangkat ketentuan kontrak (di mana mereka bebas untuk menentukannya bila mereka mau), sehingga akan mengurangi transaction costs. Ketiga, mengurangi ketidak­hati-hatian para pihak dengan memberikan tanggung jawab kepada pihak yang mengakibatkan kerugian kepada pihak lainnya. Keempat, memfor­mulasikan seperangkat ketentuan yang merupakan alasan yang memaaf­kan dalam pelaksanaan kontrak sehingga dapat dilaksanakannya efficient exchanges, tetapi tidak mendorong pelaksanaan inefficient exchanges yang tidak memenuhi kriteria efisiensi pareto.

Menurut Erman Rajagukguk[10], kontrak dalam berbagai sistem hukum yang modern dianggap sebagai institusi hukum yang sangat menguntung­kan, di mana:
1. mengizinkan para pihak menetapkan kepentingan yang sah, seperti menjamin diri mereka dari pelaksanaan kontrak yang tidak memuaskan
2. memungkinkan individu-individu lainnya menunjukkan kepercayaan mereka kepada pasar;
3. bekerjanya asas pacta sunt servanda untuk pelaksanaan kontrak yang efektif dan
4. dapat memilih peranan institusi lain untuk menghindari penyelesai­an sengketa di Pengadilan yang berlarut-larut dan mahal.
[1] Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003) , hal.1-21
[2] ibid
[3] Karla C. Shippey, J.D., Menyusun Kontrak Bisnis Internasional, Cetakan Pertama, Jakarta: PPM, 2001, hal.1
[4] Lebih jauh lihat dalam Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003) , hal.1-21
[5] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cetakan Pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999. hal.4
[6] Black, Henry Campbell, 1968: 394.
[7] Gifis, Seteven H., 1984: 94.
[8] Peter Mahmud Marzuki, Kontrak Bisnis Internasional (Bahan Kuliah Magister Hukum Universitas Airlangga), Surabaya, 2001. hal.1
[9] sebagaimana dikutip Erman Rajagukguk dalam Jurnal Magister Hukum, 1999
[10] ibid