Jumat, 24 April 2009

Asas Kebebasan Berkontrak

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luas­nya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk meng­adakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.


Menurut Subekti
[1], cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekan­kan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat per­janjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".
Menurut Mariam Darus Badrulzaman
[2] "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contract­vrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut
[3]:
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang­undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini[4] mengemukakan, dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.

Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari pasal-pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pem­batasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.

Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak.
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ber­tentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.
Pasal 1332 memberikan arch mengenai kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.

Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak mem­buat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.

Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang mem­buat kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak sama[5]


[1] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet­boek), Cetakan Keenam Belas, Jakarta: Pradnya Para­mita, 1983. hal.5
[2] Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Cetakan Pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal.84
[3] Hasanuddin Rahman, op.cit.: 138 dan Sutan Remy Sjandeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Institut Bahkir Indonesia, 1993. hal.47
[4] Sutan Remy Sjandeini, ibid
[5] lihat: Sutan Remy Sjandeini, ibid: 4).